Fenomena amblesan tanah yang secara perlahan-lahan namun pasti ini dikenal dengan istilah land subsidence. Hampir semua kota besar di dunia yang duduk di atas lapisan sedimen akan mengalami amblesan. Cepat lambatnya amblesan tanah ini sangat bergantung pada kondisi konsolidasi lapisan sedimen itu sendiri dan besarnya beban bangunan di atasnya. Selain Jakarta, ternyata Bangkok (Thailand), Tokyo (Jepang), Osaka (Jepang), Niigata (Jepang), Taipei (Taiwan), Shanghai (China), Mexico, Venice (Italia), London (Inggris), dan beberapa negara bagian diAmerika Serikat juga mengalami masalah dengan amblesan tanah. Kejadian amblesan tanah ini bagi kota-kota yang tidak berada di pesisir laut mungkin tidak begitu menimbulkan dampak yang serius namun bagi kota yang berada di pesisir laut akan mengalami masalah dengan meluapkanya air laut ke daratan.
Penyebab utama turunnya tanah di Jakarta adalah beban bangunan yang begitu besar karena pesatnya pembangunan dan pengambilan air bawah tanah (sumur bor) yang luar besar. Hal menyebabkan beban (load) atas batuan sedimen semakin besar sehingga menyebabkan konsolidasi lapisan tanah di bawahnya. Konsolidasi ini diperparah lagi dengan pengambilan air bawah
tanah (ground water) secara besar-besaran oleh semua perkantoran, pabrik, penginapan, perumahan, dll. Pada gambar di samping ini bisa dilihat kondisi bagaimana air tertekan yang ada dalam aquifer batuan sedimen bisa menyebabkan meningkatnya tekanan pori-pori air terhadap butiran tanah/pasir dan menguatkan tekanan antar butir namun ketika airnya habis dihisab oleh sumur bor maka butiran tanah/pasir tersebut akan lepas terpadatkan oleh beban bangunan yang ada di atasnya dan terjadinya amblesan tanah yang tidak dapat dihindari.
Seperti yang jelaskan sebelumnya, amblesan tanah Jakarta mulai diketahui sejak 1982 menggunakan pengukuran leveling, kemudian berkembang dengan adanya GPS Geodetik.