Sudahkan kita menjalankan Hyogo Framework for Action?

wecoordinate_hfaHyogo Framework for Action (HFA) atau kerangka aksi hyogo dihasilkan setelah pertemuan 2nd World Conference on Disaster Reduction tanggal 18 – 22 Januari 2005 di Kobe, Hyogo, Jepang. Kerangka Aksi Hyogo (2005-2015) membahas tentang aksi-aksi yang harus dilakukan untuk membangun ketangguhan bangsa dan masyarakat terhadap bencana. Aksi-aksi dalam Kerangka tersebut telah diadopsi oleh 168 negara dalam upaya pengurangan risiko bencana di negara mereka. Sudahkan daerah tempat kita tinggal mengadopsi dengan sempurna Kerangka Aksi Hyogo tersebut untuk membangun ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana?. Mari kita lihat satu-persatu aksi-aksi kerangka kerja Hyogo tersebut dan apa yang mesti kita lakukan untuk menuju masyarakat yang tangguh terhadap bencana.

Berikut ini adalah Hyogo Framework for Action (2005-2015) yang memiliki 5 prioritas aksi utama:

  1. Make Disaster Risk Reduction as Priority; aksi pertama mengharuskan kita menjadikan Pengurangan Risiko Bencana/PRB sebagai prioritas nasional dan daerah yang dilaksanakan melalui kelembagaan yang kuat. Upaya penanggulangan bencana harus menjadi prioritas utama dari segi pendanaan, kebijakan, regulasi dan arah pembangunan suatu daerah. Banyak daerah, masih menganut paradigma lama dimana bencana akan ditanggulangi apabila telah terjadi. Namun setelah Tsunami Aceh 2004, Indonesia telah telah memiliki Badan khusus untuk menanggungi bencana (BNPB = Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dan UUD No. 24 tahun 2007. Dengan terbentuknya badan dan UUD tersebut, secara nasional negara kita sudah menjadikan isu Pengurangan Risiko Bencana (PRB) sebagai prioritas utama dalam setiap tindak-tanduknya. Saat ini seluruh daerah tingkat I di Indonesia sudah memiliki Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Selain membentuk produk hukum dan badan khusus, aksi pertama Hyogo ini juga mengharuskan keterlibatan masyarakat dalam PRB berupa pembagian tanggung jawab khusus kepada masing-masing pihak yang ada di masyarakat. Penjelasan kesiapsiagaan komunitas masyarakat dalam PRB pernah saya tulis pada tulisan Desa Siaga Bencana.
  2. Know The Risk and Take Action; dalam aksi ini, kita diharuskan untuk mengidentifikasi, mengkaji, dan memantau risiko bencana serta menerapkan sistem peringatan dini. Dalam upaya mengidentifikasi dan mengkaji risiko bencana, masing-masing daerah yang ada di Indonesia harusnya sudah memiliki Peta Risiko Bencana. Untuk Provinsi Aceh tempat penulis tinggal, ADRM (Aceh Disaster Risk Map) yang dibuat oleh TDMRC (Tsunami and Disaster Mitigation Research Center – Universitas Syiah Kuala) tahun 2012 bisa menjadi pedoman Pemerintah Aceh dalam mengidentifkasi dan mengkaji risiko. Kabupaten-kabupaten mana saja yang memiliki risiko bencana tertinggi dan terendah terlihat jelas pada peta tersebut. Untuk provinsi-provinsi lain, peta risiko bencana ini harus segera dimiliki segera karena peta ini bisa menjadi pedoman dasar dalam pembangunan dan penganggaran. Selain pembuatan peta, dalam upaya daerah mengidentifikasi dan mengkaji risiko bencana, harus adanya data kejadian bencana tiap tahun. Dari data statistik kejadian atau tinjauan bencana tahun-tahun sebelumnya, tentu bisa menjadi pendoman untuk menghadapi bencana di masa-masa yang akan datang. Penjelasan tentang Tinjauan Bencana Aceh 2010 pernah saya singgung pada tulisan sebelumnya. Selain melakukan kajian dan identifikasi, dalam aksi kedua ini kita juga diharuskan memiliki sistem peringatan dini untuk semua bencana. Untuk kasus bencana tsunami, beberapa daerah seperti Aceh, Bali dan Padang sudah memiliki Sirine Tsunami. Selain sirine yang ada di darat, di laut pun sudah dipasang Bouy untuk memantau gelombang tsunami. Sistem kinerja Bouy tersebut pernah saya tulis pada tulisan Pemantau Gelombang Tsunami.
  3. Build Understanding and Awareness; Dalam aksi ke-tiga ini, kita diharuskan memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun budaya keselamatan dan ketahanan pada seluruh tingkatan masyarakat. Untuk meningkatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan kebencanaan, para akademisi dan praktisi harus membuat sebuah sistem penyampaian informasi yang benar tentang kebencanaan kepada masyarakat awam. Penyampaian informasi yang benar akan mengurangi tingkat kekhawatiran masyarakat. Banyak kasus kepanikan masyarakat yang terjadi karena tidak sampainya informasi yang benar kepada masyarakat sehingga ketika masyarakat mendengar atau menerima informasi yang salah, kepanikan tidak dapat dihindari. Contoh kasus kepanikan yang pernah terjadi di tempat penulis tinggal adalah tersebarnya sms yang mengatakan akan terjadi gempa dengan skala 10 Richter. Seadainya masyarakat memahami skala gempa, tentu mereka tidak akan panik ketika menerima sms seperti itu. Untuk memberi pemahaman kepada masyarakat tentang gempa, penulis sendiri juga ikut meluruskan isu tersebut melalui tulisan Dapatkah Gempa Diprediksi?. Dalam upaya pemberian pemahaman yang benar tentang pengetahuan bencana, melakukan inovasi dan pendidikan, tentu saja harus dilakukan melalui pelatihan-pelatihan kebencanaan kepada masyarakat dan penelitian-penelitian dalam upaya mendapatkan inovasi terbaru dalam upaya PRB. Blog Melek Bencana sendiri saya buat untuk mendukung aksi ke-tiga ini.
  4. Reduce Risk; dalam aksi ke-empat ini, kita harus mengurangi faktor-faktor mendasar penyebab timbulnya atau meningkatnya risiko bencana. Faktor sumber daya alam dan lingkungan sering kali menjadi faktor mendasar terjadinya bencana alam dan sosial. Dalam upaya mengurangi faktor mendasar tersebut, manajemen sumber daya alam dan pelestarian lingkungan harus menjadi prioritas pemerintah setempat. Setiap kebijakan yang dibuat harus meninjau aspek lingkungan dan perlestarian alam. Peningkatan keamanan pangan juga harus menjadi program prioritas pemerintah dalam upaya PRB sosial. Salah satu kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan upaya PRB adalah seperti pernah saya tulis pada tulisan Sistem Hidrologi, Hutan dan Bencana.
  5. Be Prepared and Ready to Act; pada aksi ini, kita harus memperkuat kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana pada semua tingkatan masyarakat agar respon yang dilakukan lebih efektif. Sejalan dengan aksi ke-tiga, aksi ke-lima ini kita harus memperkuat kebijakan, kapasitas teknis dan kelembagaan dalam skala regional, nasional dan lokal, termasuk yang berhubungan dengan teknologi, pelatihan, dan sumber daya manusia. Masyarakat, Pemerintah dan semua elemen rakyat harus diberikan ilmu yang cukup dengan kebencanaan dan kesiapsiaganya dalam menghadapi harus betul-betul ditingkatkan. Kalaupun bencana yang tidak diharapkan terjadinya juga maka masyarakat sudah siap menghadapi bencana dan tahu harus berbuat apa sebelum, ketika dan sesudah bencana terjadi. Pemerintah dan pemangku kepentingan juga harus disiapkan sebelum, ketika dan sesudah bencana sehingga proses Tanggap Darurat dan Rehab-Rekon dalam berlangsung dalam waktu yang singkat dan terkoordinir dengan baik.

Apa yang penulis jelaskan di atas adalah beberapa aksi-aksi yang harus dilakukan daerah dalam upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan untuk mewujudkan masyarakat yang tangguh dalam menghadapi bencana. Sejauh mana aksi-aksi tersebut diterapkan di daerah kita, tentu kawan-kawan di daerah lebih faham. Semoga masyarakat kita makin sigap dan tanggap dalam menghadapi bencana dan kerangka aksi hyogo ini bisa teraplikasikan di daerah kita masing-masing.

Tags:
author

Author: 

Saya Ibnu Rusydy, Pecinta, pelajar dan pengajar Ilmu Kebumian yang lahir di Aceh-Indonesia. Saat ini saya tergabung dalam Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) Komisaris Wilayah Aceh (id: IBN-RUSYD-150) dan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Pengurus Daerah Aceh (Npa: 4658). Apabila menyukai artikel yang saya tulis, silahkan sebarkan ke kawan-kawan anda.

One Response

Leave a Reply