Melanjutkan tulisan pertama tentang Peran Geofisika (Fisika Bumi) Dalam Mitigasi dan Monitoring Bencana, pada kesempatan kali ini penulis mencoba kupas sedikit tentang penggunaan metode seismik dalam upaya mitigasi bencana gempa bumi dan tanah longsor. Metode seismik pada prinsipnya adalah metode geofisika yang mempelajari bumi berdasarkan kecepatan penjalaran gelombang getar/gempa. Kecepatan gelombang ini sangat berhubungan dengan densitas dan modulus elastisitas batuan bawah permukaan.
Metode seismik masuk kategori metode aktif dalam ilmu geofisika karena pada saat pengukurannya diperlukan sumber getaran yang buat oleh manusia berupa hantaman palu, beban yang dijatuhkan, vibrator dan bom (dinamik). Sumber getaran yang dipancarkan ini akan menjalar ke segala arah dan masuk ke bawah permukaan dan ketika berjumpa dengan lapisan baru, gelombang tersebut ada yang dipantulkan kembali ke atas permukaan dan ada juga yang dibiaskan ke dalam permukaan tanah. Kecepatan sampainya gelombang ini dari satu titik ke titik yang lain diukur menggunakan geo-phone yang ditancapkan di atas permukaan tanah. Dari respon perbedaan kecepatan perambatan gelombang masing-masing lapisan tersebut, akhirnya bisa dipetakan kondisi bawah permukaan. Pada gambar 1 bisa dilihat penulis (baju hitam celana loreng coklat) bersama Asrillah, M.Sc (yang siap mengetok plat besi dgn palu 5 Kg sebagai sumber getarnya)
Pada awal-awal perkembangannya, orang mengenal metode seismik bias (refraction) dan seismik pantul (reflection). Namun seiring perkembangan ilmu, pada tahun 1980-an Nazarian dan Stokoe memperkenalkan metode seismik SASW (Spectral Analysis of Surface Wave) di University of Texas Austin dan pada tahun 1999 Choon Byong Park bersama kawan-kawannya mengembangkan metode seismik MASW (Multichannel Analysis of Surface Wave). Kedua metode ini digunakan untuk mengamati penjalaran gelombang S (Vs) yang memiliki peranan dalam pembentukan gelombang permukaan (Rayleigh dan Love) yang begitu merusak bangunan.
Pemetaan Mikrozonasi Dengan SASW dan MASW
Saat ini, pemerintah pusat melalui Tim 9 yang dibentuknya sudah membuat peta kawasan rawan gempa bumi untuk wilayah Indonesia. Peta tersebut masing berupa peta kasar (makrozonasi) atau dalam skala yang yang sangat luas. Nilai percepatan goncangan tanah tertinggi (Peak Ground Acceleration/PGA) yang dihitung juga masih berdasarkan percepatan gelombang di batuan dasar (bedrock). Beberapa kota di negara tidak duduk tepat di atas batuan dasar dengan lapisan sedimen tipis, melainkan duduk di atas lapisan batuan sedimen tebal yang ada di atas batuan dasar. Di beberapa kota juga, kondisi lapisan sedimen juga sangat muda dan lunak (soft soil). Dan ternyata, lapisan tanah lunak dan tebal yang duduk di atas batuan dasar ini bisa meningkatkan faktor amplifikasi (penguatan goncangan/amplitudo) gelombang gempa bumi dan efek pantulan gelombang gempa bumi dari batuan dasar. Gelombang gempa bumi juga akan bergerak sangat lambat pada lapisan lunak dibanding dengan lapisan keras. Contoh kasus gempa bumi yang memiliki efek amplifikasi yang sangat fenomenal adalah gempa bumi Meksiko (1985), gempa bumi San Fransisco (1989), gempa bumi Kobe (1995), gempa bumi Jogja (2006) dan gempa-gempa yang lain.
Pengukuran MASW atau SASW mutlak dilakukan di setiap kota yang ada di Indonesia untuk memetakan dimana saja kawasan-kawasan yang memiliki nilai amplikasi tinggi, rendah dan berapa kedalaman lapisan sedimen di kota tersebut. Pada gambar disamping bisa diihat kondisi lapisan bawah permukaan berdasarkan percepatan gelombang shear (geser) (Vs) untuk keperluan geoteknik. Jenis-jenis tanah bawah permukaan juga bisa dipetakan berdasarkan kecepatan penjalaran gelombang shear. Jenis tanahnya antara lain lanau (silt) dan lempung berpasir (sandy clay). Untuk kawan-kawan Teknik Sipil bisa memahami gambar tersebut sebagaimana disebutkan pada America Society of Civil Engineers (ASCE) 2010 maka kecepatan 175 m/s – 350 m/s masuk dalam kategori tanah lunak.
Pemetaan mikrozonasi atau upaya mendetailkan peta makrozonasi yang sudah ada mutlak dilakukan. Peta mikrozonasi ini akan sangat bermanfaat nantinya dalam menentukan kebijakan pembangunan infrastruktur di kawasan yang rawan gempa. Titik-titik di sekitar Jakarta, Bandung, Semarang, Medan, Banda Aceh, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia yang memiliki faktor amplifikasi tinggi maka harus dibangun dengan kualitas bangunan tahan gempa bumi yang lebih baik dan titik yang memiliki faktor amplifikasi rendah tentu saja bisa dibangun dengan kualitas biasa. Kebijakan tinggi rendahnya kualitas bangunan tanah gempa bumi ini tentu mengalami efek pada penghematan biaya pembangunan atau dengan kata lain, bangunlah bangunan bagus di tempat dengan faktor amplifikasi tinggi serta bangunlah bangunan biasa di tempat dengan faktor amplifikasi rendah dan jangan sampai dibangun bangunan dengan kualitas tinggi di tempat yang ternyata faktor amplifikasi rendah. Apabila ini dilakukan, maka ini namanya pemborosan anggaran.
Gambar di bawah ini menunjukkan peta amplikasi di Kec. Berbah Kab. Sleman. Dan di kecamatan tersebut ada kawasan-kawasan yang memiliki amplifikasi tanah sampai 9 kali, ini berarti bahwa gempa bumi yang terjadi dikuatkan oleh lapisan lunak tersebut sebesar 9 kali. Mudah-mudahan kota-kota besar yang lain yang ada di seluruh Indonesia segera menyusul.
Hasil akhir daripada pemetaan mikrozonasi bisa diterapkan dalam standarisasi bangunan berupa building code. Apa saja kebijakan Building code? penulis rasa kawan-kawan dari Teknik Sipil bidang struktur bangunan lebih mengerti daripada penulis. Building code ini juga ke depan harus betul diterapkan pada setiap bangunan yang ada di Indonesia karena gempa bumi tidak pernah membunuh, yang membunuh adalah reruntuhan bangunan.
Selain metode MASW dan SASW, metode seismik Microtremo yang memanfaatkan getaran dari alam juga sangat bagus untuk mengetahui percepatan gelombang tanah di batuan dasar dan lapisan permukaan. Metode Geofisika Gravity juga bisa digunakan untuk mengetahui kedalaman batuan dasar dan memperkiraan densitas batuan permukaan dan batuan dasar. Ketika kecepatan gelombang dan densitas batuan diketahui, maka akan sangat mudah untuk menghitung nilai impedansi yang akhirnya juga digunakan untuk menghitung faktor amplifikasinya. Sukses buat kawan-kawan geofisika yang sudah melakukan pengukuran tersebut. Semoga artkel peran geofisika dalam memetakan mikrozonasi bermanfaat dan menambah ilmu bagi kita
jamal12 years ago
Ibnu Rusydy12 years ago