
Gempa bumi dangkal yang bersumber dari patahan di darat kembali terjadi di Myanmar pada tanggal 28 Maret 2025.
Kejadian ini seakan mengingatkan kita kembali akan bahaya patahan yang berada di darat.
Dengan jumlah penduduk yang sangat padat, kota Jakarta tidak terlepas dari ancaman gempa dangkal yang bersumber dari darat.
Beberapa tahun yang lalu, saya selalu mengingatkan akan bahaya gempa yang bersumber dari patahan yang berada di darat.
Mungkin masih segar dari ingatan kita bagaimana gempa darat yang terjadi di Jogja pada tahun 2006 dan di Palu pada tahun 2018.
Lebih detail terkait bahaya gempa dari patahan yang berada di darat bisa baca artikel ini:
- Gempa Palu 28 September 2018 yang Memicu Tsunami
- Daratan Sulawesi Tengah yang Bergeser Setelah Gempa Bumi
- Potensi Bencana Alam Gempa Bumi di Patahan Sumatra
- Belajar Dari Gempa 02 Juli 2013 (Kab. Bener Meriah dan Aceh Tengah)
Kali ini kita akan mendiskusikan potensi ancaman kota Jakarta dari patahan Baribis.
Artikel ilmiah populer Patahan Baribis ini akan saya bagi dalam 2 bagian.
Bagian pertama akan membahas sejarah gempa bumi yang bersumber dari patahan Baribis dan Bagian kedua akan membahas potensi gempa di masa depan.
Sejarah Gempa Jakarta dari Patahan Baribis
Sebagai negara “supermarket” bencana, gempa bumi telah mengancam dan menghiasi sejarah kehidupan bangsa Indonesia.
Tentu saja kota Jakarta tidak luput dari bencana gempa bumi yang sudah terjadi sejak zaman dulu dan beberapa berhasil dicatat oleh Belanda.
Gempa-gempa yang pernah terjadi di Jakarta berasal dari berbagai sumber patahan.
Selain mendapatkan ancaman dari patahan Baribis, Kota Jakarta juga mendapatkan ancaman gempa bumi yang bersumber dari zona subduksi dari selatan pulau Jawa, patahan Cimandiri, patahan Lembang, patahan Garut, dan patahan Cipamingkis.
Namun patahan Baribis menjadi sumber ancaman terdekat secara jarak dan sejarah kejadian gempa.
1. Gempa Patahan Baribis 22 January 1780
Dalam buku Indonesia’s Historical Earthquakes yang dikeluarkan oleh Geoscience Australia tahun 2023, disebutkan bahwa gempa 22 January 1780 memiliki magnitudo gempa sekitar 7.0 – 8.0 Mw.
Gempa 22 January 1780 merupakan gempa paling besar saat itu yang melanda pulau Jawa dan diduga berasal dari patahan Baribis.
Getaran gempa dirasakan di seluruh pulau Jawa dan sebagian sisi timur pulau Sumatera.
Kota Jakarta yang saat itu masih bernama “Batavia” mengalami kerusakan yang sangat parah.

Berdasarkan model goncangan gempa dalam skala MMI pada gambar di atas, dengan magnitudo 7 Mw. Maka kota Jakarta akan mengalami goncangan sebesar 8 MMI.
“Menurut BMKG, pada skala MMI 8 maka “Kerusakan ringan pada bangunan dengan konstruksi yang kuat. Retak-retak pada bangunan degan konstruksi kurang baik, dinding dapat lepas dari rangka rumah, cerobong asap pabrik dan monumen-monumen roboh, air menjadi keruh.”

Menurut Mohtar (2021), sebuah bangunan observatorium milik Johan Maurits Mohr sempat mengalami kerusakan akibat gempa 22 Januari 1780.
Bangunan observatorium tersebut merupakan bangunan 6 lantai dan menjadi bangunan tertinggi saat itu.
Gempa bumi 22 January 1780 juga memicu aktifitas gunung api di gunung Gede dan gunung salak.
2. Gempa Patahan Baribis 10 Oktober 1834

Pada 10 Oktober 1834 malam, sebuah gempa yang diduga bersumber dari patahan Baribis kembali terjadi.
Goncangan hebat dirasakan di Jakarta, Banten, Karawang, dan Bogor.
Skala magnitudo gempa ini diperkirakan sekitar Mw 7.0 – 7.7.
Akibat gempa ini, beberapa rumah dan bangunan beton ikut rusak, termasuk istana Weltevreden (Paleis van Daendels/Het Groot Huis) dan istana gubernur Hindia-Belanda.
Sisi utara istana Bogor juga dilaporkan mengalami kerusakan dan tidak dapat ditempati untuk sementara waktu.
Kerusakan di Jakarta dan Bogor masuk dalam kategori kerusakan dengan skala MMI 8 dan sumber gempanya diperkirakan antara Jakarta dan Bogor (patahan Baribis).

Berdasarkan sejarah kejadian gempa bumi yang bersumber dari patahan Baribisd dan kedua model gempa bumi sejarah gempa yang dibuat oleh Nguyen dkk (2023), hasilnya menunjukkan tingkat goncangan yang cukup tinggi untuk kawasan kota Jakarta.
MMI 8 sudah cukup memberikan dampak kerusakan yang cukup masif untuk bangunan yang tidak tahan gempa dan kerusakan ringan untuk bangunan tahan gempa.
Saat ini kondisi Jakarta sangat padat penduduk dan ini akan meningkatkan risiko bencana gempa bumi.
Pada tahun 2020, penulis pernah mempublikasikan artikle ilmiah di jurnal Q1 tentang perkiraan korban jiwa akibat gempa bumi dangkal.
Link Artikelnya: Shallow crustal earthquake models, damage, and loss predictions in Banda Aceh, Indonesia
Penelitian yang sama bisa dilakukan oleh para peneliti yang berada di Jakarta untuk memperkirakan kawasan-kawasan yang memiliki tingkat risiko tinggi gempa bumi.
Hasil penelitian ini tentu akan menjadi acuan dalam upaya pengurangan risiko bencana dan pembangunan yang berkelanjutan.
Salam Siaga
Ibnu Rusydy
