Gempa Aceh 2 Juli 2013 terjadi di Kab. Bener Meriah dan Kab. Aceh Tengah berada di tengah-tengah pulau Sumatra yang termasuk zona sesar aktif yang dinamakan zona sesar Sumatra (Sumatra Fault Zone/SFZ). Sejak tahun 1892, di kawasan tersebut belum tercatat adanya gempa di atas magnitudo 6 sehingga kawasan tersebut masuk dalam kawasan seismic gap atau kawasan yang aktif secara tektonik namun sudah lama tidak terjadi gempa. 2 Juli 2013 kemaren, SFZ segmen Aceh ini melepaskan energi gempa. Gempa Aceh ini masuk dalam kategori gempa tektonik karena sumbernya di SFZ di darat atau masyarakat lebih mengenalnya dengan gempa darat.
Isu Gunung Api
Setelah gempa bumi Aceh ini terjadi, masyarakat sekitar zona gempa ditakutkan oleh isu meletusnya gunung api dan isu sumber gempa yang berasal dari gunung api. Kekhawatiran masyarakat ini dikarenakan pemahaman masyarakat tentang gunung api yang kurang. Seadainya jauh hari sebelumnya masyarakat sudah diberikan pemahaman tentang gunung api, tentu ke khawatir ini tidak terjadi. Perbedaan yang cukup menonjol tentang gempa gunung api (vulkanik) dengan gempa tektonik adalah dari skala gempa. Skala gempa vulkanik biasanya sangat kecil dan tidak merusak bangunan sedangkan gempa tektonik di SFZ bisa besar dan merusak.
Selain skala yang kecil, di Kab. Bener Meriah sudah ada Pos Pengamatan Gunung Api Burni Telong yang melakukan pengamatan selama 24 jam, sehingga tidak ada hal yang perlu dikhawatikan dengan gunung api tersebut. Kalaupun terjadi peningkatan aktifitas gunung api, peningkatan ini akan terjadi secara pelan-pelan dan bertahap. Setiap tahapannya akan teramati oleh petugas yang berada di pos pengamatan. Pengamatan apa saja yang dilakukan oleh petugas pos pengamatan? pembaca bisa baca tulisan tentang jenis-jenis Pengamatan Gunung Api.
Kerusakan Bangunan
Gempa Aceh 2 Juli 2013 ini telah meninggalkan trauma lain bagi masyarakat yang tinggal di sekitar zona gempa. Robohnya rumah dan bangunan yang terjadi di beberapa tempat di Kab. Bener Meriah dan Kab. Aceh Tengah menyebabkan banyaknya korban jiwa. Banyaknya rumah dan bangunan yang rusak ini dikarenakan sumber gempa yang cukup dangkal atau sekitar 10 Km di bawah kaki mereka. Selain dekatnya sumber gempa dengan permukaan, efek amplifikasi dan pemantulan gelombang gempa yang terjebak juga makin menguatkan goncangan tanah yang merusak bangunan. Efek amplifikasi dikarenakan bangunan tersebut berdiri di atas lapisan endapan gunung api yang lunak yang muda (berumur plistosen).
Endapan yang lunak ini akan memperkuat percepatan goncangan tanah. Efek pemantulan gelombang gempa bumi yang terjebak antara lapisan sedimen dengan batuan dasar juga dapat memicu fenomena resonansi gelombang gempa sehingga gelombang gempa yang memiliki frekwensi yang sama akan saling menguatkan sehingga memiliki efek merusak yang tinggi.
Harapannya di masa yang akan datang akan dibangun rumah-rumah tahan gempa di setiap kawasan-kawasan rawan gempa. Untuk memetakan kawasan-kawasan rawan gempa atau kawasan yang memiliki tingkat goncangan tanah tertinggi harus dilakukan survey geofisika terlebih dahulu seperti pernah penulis jelaskan pada tulisan Peran Geofisika (Fisika Bumi) Dalam Mitigasi dan Monitoring Bencana (II). Semoga gempa Aceh kali memberikan ilmu dan pengalaman berharga bagi kita.
Sinkhole atau Longsor Biasa?
Selain merusak bangunan, gempa 2 Juli 2013 juga menyebabkan tanah longsor di sepanjang jalan Bener Meriah – Takengon dan “subsidence?” di Blang Mancung Kec. Ketol Kab. Aceh Tengah. Tanah Longsor yang terjadi di sepanjang jalan Bener Meriah – Takengon, berkat kerja keras pihak terkait dapat dibersihkan dalam waktu beberapa jam dan tanggal 03 Juli malam ketika penulis menuju kota Takengon tanpa ada kendala yang berarti. Kejadian yang sama sebenarnya juga terjadi di Desa Blang Mancung. Mayoritas warga yang datang ke lokasi kejadian menyakini bahwa apa yang terjadi di Blang Mancung adalah tanah ambles (sinkhole) dalam waktu cepat namun setelah penulis mengamati kondisi geologi dan marfologi setempat, kejadian tanah yang turun sedalam ±50 meter tersebut lebih diakibatkan longsor tanah biasa dan bukan sinkhole. Kejadian ini sudah terjadi sejak tahun 2006 dan gempa beberapa hari yang lalu kembali memperluas area longsorannya.
Apabila kita melihat peta topografi seperti pada gambar di atas, dekat kawasan tanah longsor tersebut sudah lama terbentuk lembah dan bukan kawasan yang rata seperti berita yang beredar di masyarakat. Lereng-lereng labil yang terbentuk dari lapisan endapan vulkanik yang sangat tebal. Endapan vulkanik ini akan dengan mudah longsor ketika getaran gempa bumi menganggu kestabilan lereng tersebut. Karena ini merupakan longsoran biasa, masyarakat diharapkan tidak perlu panik dan sangat disarankan agar masyarakat tidak mendekati kawasan yang sudah longsor tersebut.
Semoga beberapa pembelajaran akan bencana alam yang terjadi di Kab. Bener Meriah dan Kab. Aceh Tengah menjadi pengingat dan menambah ilmu bencana alam bagi kita.