Dalam tulisan saya sebelumnya tentang menelusuri Paleo-seismic di Sumatra, saya beberapa kali menyebutkan kata Seismic Gap (SG). Dalam tulisan kali ini, saya mencoba mengulas sedikit tentang bagaimana suatu kawasan dikatakan dalam kondisi ada Seismic Gap (SG).
Seismic Gap (SG) pertama kali diperkenalkan oleh Fedotov pada tahun 1965 dan Mogi pada tahun 1969 ketika mereka memetakan kejadian-kejadian gempa di zona subduksi Alaska-Aleutian (Nishenko dan Sykes, 1993). Seismic Gap (SG) adalah istilah yang digunakan untuk kawasan aktif secara tektonik namun jarang terjadi gempa dalam jangka waktu yang lama. Di bagian selatan pulau Sumatra dan Jawa sebagaimana saya jelaskan pada tulisan sebelumnya, disana terdapat zona subduksi antara lempeng Indo-australia dgn Eurasia. Di sepanjang zona ini adalah zona aktif secara tektonik dan harusnya sering terjadi gempa sepanjang tahunnya, namun apabila ada kawasan2 yang tidak pernah terjadi gempa selama kurun waktu yang lama maka daerah ini harus kita waspadai.
Untuk mengetahui kawasan2 mana yang jarang terjadi gempa bumi sehingga terbentuk Seismic Gap (SG), hal yang pertama sekali yang harus kita lakukan adalah memetakan titik episentrum gempa dari 30-100 tahun yang lalu. Dari hasil pemetaan ini akan bisa dilihat kawasan mana yang jarang terjadi gempa sehingga apabila kita lihat petanya seolah-olah ada “gap” gempa disitu. Sekarang pertanyaanya apakah di sekitar zona subduksi tersebut ada seismic gap (SG)? mari kita lihat gambar 1 di bawah ini.
Pada gambar 1 dapat dilihat episentrum gempa berwarna kuning sampai dengan 17 September 2007. Berdasarkan analisa Omer Aydan melalui publikasinya yang berjudul Seismic and Tsunami Hazard Potentials in Indonesia with a special emphasis on Sumatra Island pada Journal of The School of Marine Science and Technology, Tokai University-Japan tahun 2008, beliau menandai ada 8 tempat yang menjadi dugaan seismic gap (SG). Kawasan tersebut adalah kawasan yang jarang sekali terjadinya gempa dan menjadi dugaan akan terjadi gempa dimasa yang akan datang.
Apabila kawan-kawan perhatian kawasan yang ditandai pada gambar 1 dan gambar 2, maka akan terlihat sekali bahwa kawasan tersebut ada seismic gap (SG) dan jarang terjadi gempa bumi.
Berapa Mw (momen magnitude) dan kapan terjadi, sampai saat ini belum bisa dipastikan secara pasti. Namun demikian ada juga beberapa pakar gempa mencoba menghitung Mw maksimum berdasarkan kecepatan pergerakan lempeng, kedalaman dan lebar lempeng dengan menggunakan rumus yang diperkenalkan oleh Hanks dan Kanamori pada tahun 1979. Beberapa pakar gempa dari Indonesia, Seperti Bapak Danny Hilman Natawijaya (LIPI) juga beberapa kali pernah mengingatkan di beberapa konferensi tentang bahaya seismic gap di zona subduksi dan Sesar Sumatra.
Seperti doa saya sebelumnya, mudah2an kita makin sering mengalami gempa-gempa kecil supaya tidak ada lagi seimic gap dan terhindar dari jarangnya gempa yang menyebabkan terbentuk seismic gap. Lebih baik gempa ini kita cicil daripada kita ambil kontan.
Kita bangsa Indonesia harus selalu siap untuk menghadapi bencana karena kita hidup di negeri penuh dengan bencana. Semoga tulisan ini bermanfaat, dan mari kita “sedia ilmu sebelum bencana“. Semoga artikel tentang Seismik Gap ini bermanfaat.
akang13 years ago
Ibnu Rusydy12 years ago
rizbay11 years ago