Episenter gempa di sesar/patahan Sumatra segmen Aceh pada tanggal 22 Januari 2013 berbeda antara BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) dengan USGS (United State Geological Survey). Kesalahan yang terjadi kali ini tidaklah mutlah kesalahan BMKG Banda Aceh yang berada di Mata Ie. Kesalahan ini terjadi karena ada salah satu station BMKG yang ada di sekitar Sumatra bagian utara yang salah dalam meng-pick waktu datangnya gelombang S. Satu saja statiun pengamatan gempa salah, maka akan berakibat salah dalam menentukan episenter. Namun demikian, BMKG akan memperbaiki kesalahan tersebut.
Beberapa hari setelah gempa bumi tersebut terjadi, Bapak Muksin Umar, seorang dosen FMIPA Fisika Universitas Syiah Kuala yang saat ini sedang mengambil program Doktor (S3) di German bidang Seismologi membuat catatan tentang mengapa kesalahan ini bisa terjadi. Berikut ini adalah catatan (note) beliau tanpa saya rubah sedikitpun, semoga tulisan beliau ini bisa menjawab “kegaulauan” pembaca blog saya. Cekidot……!!!!!!
“Note ini menjawab pertanyaan mantan anak didik saya Zahrul Maizi kemarin dan juga beberapa rekan lain pada kesempatan berbeda. Mungkin ada informasi yang tertinggal atau malah apa yang saya sampaikan salah, mohon ditambahkan atau dikoreksi.
Beberapa faktor yang membuat perubahaan dan perbedaan hasil perhitungan lokasi gempa, antara lain:
Perbedaan dalam menentukan waktu tiba gelombang
Penentuan lokasi gempa oleh beberapa instansi biasa dilakukan pertama sekali berdasarkan waktu tiba gelombang yang ditentukan secara automatic (automatic picking) oleh komputer. Biasanya perhitungan automatic ini tidak akurat dan bergantung pada banyak parameter seperti: jenis dan lokasi gempa itu sendiri (padahal lokasi gempa yang ingin diketahui). Maka kemudian seismologist memperbaiki waktu tiba gelombang secara manual dan memperbaiki lokasi gempa. Setahu saya staf BMKG bertugas 24 jam untuk memperbaiki hasil picking dan perhitungan parameter gempa yang lain secara manual. Untuk tahu tentang penentuan waktu tiba gelombang seismic secara automatic bisa dicari dengan kata kunci “seicmic wave automatic picking”. Penentuan waktu tiba gelombang di stasiun juga sangat subjektif, tergantung pada seismologistnya. Untuk gempa darat, dangkal dan lokasinya dekat dengan stasiun, menentukan waktu tiba bisa lebih rumit dibandingkan dengan gempa jauh (teleseicmic) karena banyak jenis gelombang lain (selain direct P-wave) yang bisa direkam dengan jelas oleh stasiun lokal. Perbedaan penentuan waktu tiba gelombang akan membuat perbedaan hasil perhitungan lokasi gempa.
Distribusi stasiun dan jumlahnya
Distribusi stasiun yang merekam gempa sangat menentukan keakuratan hasil perhitungan lokasi gempa. Jika stasiun perekam terdistribusi merata mengelilingi pusat gempa, maka hasil perhitungannya akan sangat baik. Semakin banyak jumlah stasiun, maka semakin akurat pula hasilnya. Akan tetapi, apabila sebuah gempa terjadi di laut, dan semua stasiunnya berada di daratan dan tidak “mengelilingi” lokasi gempa (misalnya semua stasiun terpusat di Banda Aceh semua), maka hasilnya tidak akan akurat sebanyak apapun stasiunnya. Saat ini BMKG sudah mempunyai sangat banyak stasiun baik di daratan maupun di pulau-pula seperti Simeulu. Di samping itu, stasiun perekam gempa sudah terintegrasi misalnya BMKG mempunyai kerja sama dengan Geoscience Australia sehingga distribusi stasiun gempa tidak lagi menjadi alasan untuk kesalahan penentuan lokasi gempa.
Penggunaan Model kecepatan yang berbeda
Kalau kita masih ingat pelajaran fisika di SMP, bahwa untuk menentukan lokasi atau jarak pergerakan sebuah benda perlu diketahui kecepatan dan waktu pergerakannya. Dengan analogi yang sama, untuk menentukan lokasi gempa, kita juga perlu mengetahui kecepatan gerak gelombang di dalam bumi. Model kecepatan ini diberikan oleh seismologist (berdasarkan kajian-kajian ilmiah sebelumnya) dan bisa berbeda-beda antar instansi. Kalau melihat lokasi gempa dari BMKG dan USGS maka saya bisa mengatakan BMKG dan USGS menggunakan dua model kecepatan gelombang seismik yang berbeda. Sepertinya BMKG menggunakan model kecepatan yang dikenal dengan IASP91 sementara USGS menggunakan model yang sudah diperbaharui, ak135 (Bukan AK47 ya). Pembuatan model kecepatan ini dimotori oleh Prof. Kennett dari Australian National Univ. (Mantan supervisor saya yang selalu bersemangat saat berdiskusi tentang apa saja). Kalau kita sedikit lebih jeli melihat, banyak solusi perhitungan lokasi gempa oleh BMKG “terjebak” pada 10 km (contoh: gempa Mw 6 di daerah Pidie, dan gempa2 lain bisa dicek) sementara USGS menyebutkan lokasi gempa dengan kedalaman yang lebih akurat (Misalnya: 16.6 km untuk gempa Pidie). Jika BMKG menyebutkan kedalaman gempa 10 km, maka bisa jadi itu adalah kedalaman “dipaksakan”, tetapi tidak salah-salah sekali juga.
Dari gambaran di atas jelas bahwa wajar jika terjadi perubahan-perubahan lokasi gempa dan perbedaan antar instansi. Tetapi perlu kita ingat, bahwa pertanyaan yang cocok adalah: “informasi gempa mana yang tingkat akurasinya lebih baik?” bukan “Informasi gempa yang mana yang betul?”.
Saran
Indonesia sebenarnya bisa membuat model kecepatan sendiri berdasarkan region. Pihak universitas bisa membantu melakukannya (asalkan ada datanya) dan kemudian bisa digunakan oleh semua pihak. Gambar di atas menunjukkan perbedaan lokasi gempa yang saya lakukan (titik putih) dibandingkan perhitungan USGS (titik biru) untuk gempa di Tarutung tahun 2011. Tentu saja hasil perhitungan kami lebih akurat 🙂 karena model kecepatannya lebih detil sementara USGS menggunakan model global yang kasar. Hasil perhitungan kami sesuai dengan geometri fault Sumatra sementara perhitungan USGS terletak lebih jauh dari fault (tidak sesuai secara fisis).“
Mengenal Skala Magnitudo Gempa Bumi - MELEK BENCANA11 years ago
pia11 years ago