Etika Lingkungan dalam Islam (Fiqh Lingkungan)

lingkungan

Etika Lingkungan – Allah SWT telah menciptakan bumi ini dalam keadaan seimbang.

Alam yang indah, binatang dan tanaman yang bermacam-macam, semua itu Allah SWT ciptakan untuk kesinambungan kehidupan manusia di bumi ini.

Ketika pertama kali Allah SWT menciptakan kakek manusia Nabi Adam AS, bumi dalam keadaan sangat ideal untuk mendukung kehidupan manusia di bumi ini.

Namun keidealan ini makin lama makin berkurang seiring bertambahnya jumlah manusia di muka bumi ini.

Sikap beberapa orang yang suka berbuat onar di muka bumi inilah yang membuat bumi ini tidak lagi ideal untuk ditinggali.

Etika Lingkungan

Seiring berkembangnya zaman, manusia terus berusaha untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di alam ini.

Etika Lingkungan atau Etika Ekologi muncul sebagai solusi untuk menyelesaikan permasalahan antara manusia dengan alam dan memberikan solusi bagaimana seharusnya manusia bersikap terhadap alam.

Ketika mengikuti program magister Teknik Geologi, penulis diwajibkan untuk mengambil mata kuliah EMS (Environmental Management System ISO 14000) pada semester pertama dan Environmental Ethics pada semester kedua.

Dalam mata kuliah Environmental Ethic diajarkan tentang etika-etika lingkungan dan filosofi lingkungan.

Hampir semua etika lingkungan yang diajarkan sesuai dengan pemahaman “Barat”.

Antroposentrik

Di dunia “Barat” muncul beberapa pemahaman etika lingkungan seperti etika lingkungan yang bersifat antroposentrik dimana manusia menjadi pusat dari ekologi dan segalanya bertindak atas demi keuntungan dan kepentingan manusia serta lingkungan harus dipelihara kelestariannya karena akan mendukung keberlangsungan kehidupan manusia.

Biosentrik

Faham etika lingkungan lain yang juga muncul adalah faham biosentrik dimana kebijakan-kebijakan yang diambil terhadap lingkungan/alam berdasarkan kepentingan kehidupan yang ada di alam tersebut, apabila suatu kebijakan merugikan segala sesuatu yang hidup di alam maka kebijakan tersebut harus dibatalkan.

Ekoposentrik

Pemahaman ketiga juga sering dibahas dalam filsafat etika lingkungan adalah faham ekoposentrik, dimana  kebijakan yang diambil terhadap lingkungan berdasarkan kepentingan ekologi atau segala yang berada di dalam lingkungan tersebut.

Selain tiga pemahaman tersebut, masih banyak pemahaman atau mazhab etika lingkungan lain.

Kepahaman etika lingkungan dalam perspektif “Barat” seperti yang dijelaskan di atas kadang kala gagal apabila diterapkan di negara yang mayoritas penduduknya beragama islam.

Padahal islam secara implisit menyatakan bahwa menjaga lingkungan itu wajib hukumnya.

Pemberian pemahaman yang benar tentang pelestarian lingkungan berdasarkan islam harus terus dilakukan.

Etika lingkungan dalam pandangan islam bisa menjadi salah satu solusi yang sangat bagus apabila diterapkan di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, apalagi kalau hukum-hukum Fiqih Lingkungan bisa diimplimentasikan dalam sebuah peraturan pemerintah daerah atau bagi masyarakat Aceh mengenalnya dengan nama Qanun.

Fiqh Lingkungan (Fiqh Al-Bi’ah)

Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 26-27 Allah SWT berfirman yang artinya

“(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan berbuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi”.

Firman Allah SWT tersebut sangat jelas mengatakan bahwa orang-orang yang merugi merupakan orang-orang melanggar perjanjian Allah SWT dan berbuat kerusakan di muka bumi.

Berbuat kerusakan di muka bumi bisa didefinisikan sebagai perusakan lingkungan dengan penebangan pohon yang ilegal (illegal logging), buang sampah sembarangan, perburuan liar dan beberapa kegiatan yang merusak lingkungan.

Dalam Al-Qur’an kata “ardzy” yang berarti bumi sangat sering sekali disebutkan dalam berbagai pengertian dan pemahaman.

Untuk melindungi kehidupan manusia dan lingkungan, hukum syari’ah islam akan menjadi sumber pedoman kehidupan termasuk di dalamnya nilai etika dan hukum terhadap lingkungan.

Etika dan hukum islam yang membahas tentang lingkungan dikenal dengan istilah Fiqih Lingkungan (Fiqh Al-Bi’ah).

Taharrah (bersuci)

Apabila kita kembali ke pelajaran fiqih waktu SD/MIN dulu, Bab Pertama yang dipelajari dalam ilmu fiqih adalah Bab Taharrah (bersuci).

Dari sini kita sebenarnya sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa bersuci adalah inti dari ajaran Islam dan kesucian akan sangat sulit diwujudkan apabila keadaan sekitar kita tidak bersih.

Secara tersirat dalam Bab Taharrah sebenarnya sudah ada anjuran bagi kita umat muslim untuk menjadikan lingkungan sekitar kita bersih dengan cara tidak merusak lingkungan sehingga keharusan kita umat islam untuk bersuci sebelum melaksanakan ibadah bisa terpenuhi.

Manuasia Sebagai Khalifah

Selain keharusan manusia untuk suci dalam melaksanakan ibadah, Allah juga telah mengangkat manusia sebagai khalifah (pemimpin) atau pemimpin di bumi ini.

Ketika manusia diangkat menjadi pemimpin di bumi maka sudah pasti segala sesuatu yang  berlangsung di bumi menjadi tanggung jawab manusia.

Hilangnya keseimbangan alam dan kehidupan biologinya menjadi tanggungjawab manusia.

Prof. Mustafa Abu Sway, pada tahun 1998 pernah menulis tentang Towards an Islamic Jurisprudence of the Environment (Fiqh al-Bi’ah fil-Islam), memasukkan khalifah sebagai kategori pertama antara hubungan manusia dengan lingkungan.

Oleh karena itu, manusia wajib hukumnya menjaga alam dan segala yang ada di dalamnya.

Apabila kita kaitkan dengan etika “Barat” yang penulis jelaskan sebelumnya maka etika lingkungan dalam pandangan islam berbentuk etika ekoposentrik, dimana manusia bertindak berdasarkan kepentingan lingkugan dan ekologi.

Perda Atau Fatwa

Fiqh Lingkungan dalam bentuk Perda atau Fatwa Pelindungan Lingkungan perlu segera diterapkan di Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Pemerintah Daerah yang mayoritas muslima perlu segera membuat Perda tersebut dan mensosialisasikan kepada masyarakat.

Fatwa MUI untuk melindungi lingkungan juga bisa menjadi solusi.

Penulis sangat yakin apabila Perda Pelindungan Lingkungan rampung, maka masyarakat sangat menta’atinya karena dasar pembuatan Perda tersebut adalah Al-Qur’an dan Hadist.

Hal lain yang perlu dilakukan adalah sosialisasi Fiqh Lingkungan kepada para Dai-dai.

Bisa dibayangkan apabila para dai dan penceramah secara terus menerus menyampaikan kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan menurut hukum islam maka InsyaAllah masyarakat akan langsung tersadarkan, karena penyampaian secara agama akan membuat orang langsung berpikir surga atau neraka.

Semoga artikel ini bermanfaat bagi pembaca setiap blog Melek Bencana.

Tags:
author

Author: 

Saya Ibnu Rusydy, Pecinta, pelajar dan pengajar Ilmu Kebumian yang lahir di Aceh-Indonesia. Saat ini saya tergabung dalam Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) Komisaris Wilayah Aceh (id: IBN-RUSYD-150) dan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Pengurus Daerah Aceh (Npa: 4658). Apabila menyukai artikel yang saya tulis, silahkan sebarkan ke kawan-kawan anda.

Leave a Reply