Tinggal di negara “supermarket bencana” membuat kita harus selalu siaga dalam menghadapi bencana. Salah satu cara mempersiapkan generasi penerus kita dalam menghadapi bencana adalah dengan cara membentuk sekolah siaga bencana. Dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No. 04 Tahun 2012, sekolah siaga bencana disebutkan sebagai Sekolah atau Madrasah Aman dan peraturan tersebut memberikan pedoman bagi kita dalam membentuk dan menerapkan sekolah siaga bencana di seluruh Indonesia.
Artikel tentang cara membentuk sekolah siaga bencana ini merupakan kelanjutan dari artikel Nilai, prinsip, dan Strategi Dasar sekolah siaga bencana. Sama dengan artikel sebelumnya, artikel yang saya tulis ini juga masih berpedoman pada Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No. 04 Tahun 2012. Dalam peraturan tersebut, cara membentuk dan menerapkan sekolah siaga bencana dijelaskan dalam Bab IV dan dibagi dalam 2 kerangka kerja, yaitu kerangka kerja struktrural dan kerangka kerja non-struktural. Mari kita lihat satu persatu kerangka kerja yang menjadi pedoman dasar dalam membentuk dan menerapkan sekolah siaga bencana (SSB).
Kerangka Kerja Sekolah Siaga Bencana Secara Struktural
Dalam kerangka kerja secara struktural, kita akan memfokuskan upaya-upaya membentuk sekolah menjadi sekolah siaga bencana berdasarkan kontruksi fisik bangunan sekolah itu sendiri. Kontruksi fisik meliputi kondisi bangunan sekolah yang tahan terhadap gempa bumi dan lokasi bangunan yang berada di tempat yang aman dari terjangan tsunami. Selain struktur bangunan yang tahan terhadap gempa bumi dan berada di tempat yang aman dari tsunami, hal lain yang harus diperhatikan dalam membentuk sekolah siaga bencana secara struktural adalah bentuk desain dan penataan kelas serta adanya sarana dan prasarana pendukung upaya mitigasi bencana.
Sederhananya dapat saya simpulkan bawah setiap sekolah yang tahan gempa bumi dan berada jauh dari zona bahaya tsunami harus memiliki bentuk kelas yang mendukung upaya evakuasi ketika bencana terjadi. Misalnya saja bentuk kelas yang memiliki 2 pintu kelas yang lebar sehingga ketika gempa bumi terjadi para murid dengan mudah keluar dari ruangan. Kemudian di sekolah tersebut tersedia sarana pendukung untuk mengatasi dan mencegah terjadi bencana sekunder akibat gempa bumi, misalnya adanya alat pemadam kebakaran atau APAR (alat pemadam api ringan) di masing-masing ruangan.
Pembentukan Sekolah Siaga Bencana secara struktural ini beberapa tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini dikarena beberapa sekolah yang ada di tempat kita belum sepenuh tahan terhadap gempa bumi dan merupakan bangunan zaman yang belum mengadopsi peta gempa bumi Indonesia 2010. Seperti penjelasan peta gempa bumi Indonesia 2010, silahkan baca di link ini https://www.ibnurusydy.com/mengenal-peta-zonasi-gempa-bumi-indonesia/
Selain itu, banyak sekolah juga masih berada di kawasan rawan tsunami. Kondisi ini mengharuskan kita untuk memfokuskan pengembangannya pada aksi-aksi secara non-struktural.
Kerangka Kerja Sekolah Siaga Bencana Secara Non-Struktural
Dalam kerangka kerja non-struktural ini, kita tidak berbicara penguatan fisik bangunan namun kita berbicara tentang penguatan kapasitas manusia sekolah (murid, guru, dan wali murid). Disini, hal pertama yang harus kita kuatkan adalah pengetahuan, sikap dan tindakan. Pemberian pemahaman dasar atau ilmu dasar tentang bencana menjadi wajib hukumnya. Setelah pengetahuan dasar itu melekat dengan baik maka murid dan guru akan bersikap dan bertindak dengan tepat ketika suatu bencana terjadi. Sikap dan tindakan yang tepat ini akan tentu akan menyelamatan banyak jiwa.
Hal kedua yang harus dilakukan dalam kerangka kerja non-struktural adalah; pihak sekolah harus mengeluarkan kebijakan yang berlaku untuk semua unsur sekolah dalam upaya pengurangan risiko bencana. Misalnya sekolah mengharuskan setiap akhir semester harus dilakukan simulasi atau drill dalam menghadapi bencana di sekolah. Contoh lain, pihak sekolah membuat SOP (standard operational procedure) Kedaruratan di sekolah yang keluarkan secara resmi oleh sekolah dan diketahui oleh semua unsur sekolah baik itu murid, guru, wali murid dan komite sekolah.
Yang ketiga yang harus dilakukan adalah merencanakan kesiapsiagaan, hal ini dilakukan untuk memastikan adanya tindakan yang cepat dan tepat oleh semua unsur sekolah dalam menghadapi bencana. Misalnya pihak sekolah yang merencanakan tempat evakuasi sementara atau tempat berkumpul bersama, jalur evakuasi dan tempat evakuasi. Penentuan tempat berkumpul sementara, jalur evakuasi dan tempat evakuasi bisa dilakukan dengan menggunakan metode school watching. Seperti apa metode school watching ini diterapkan, silahkan klik link ini https://www.ibnurusydy.com/school-watching-bentuk-upaya-prb-di-sekolah/
Tindakan terakhir yang harus dilakukan dalam penguatan non-struktural adalah mengarahkan segala sumber daya (sarana, prasarana, dan financial) dalam mendukung upaya pengurangan risiko bencana di lingkungan sekolah. Contohnya, data BOS bisa digunakan untuk mengirim guru untuk ikut pelatihan pengurangan risiko bencana, untuk membuat simulasi atau drill setiap semester atau 1 kali dalam satu tahun, membeli peralatan APAR dan lain sebagainya.
Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam membentuk sekolah siaga bencana kita harus melakukan penguatan secara struktural dan non-struktural. Penguatan struktural dan non-struktural sebenarnya tidak hanya untuk membentuk sekolah siaga bencana, namun juga dilakukan untuk membentuk desa siaga bencana atau desa tangguh, dan kota tangguh.
Semoga artikel tentang Kerangka Kerja Membentuk Sekolah Siaga Bencana berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No. 04 Tahun 2012 ini bermanfaat dan membuat kita makin tangguh dalam menghadapi bencana alam.
Salam Siaga dari Aceh
Ibnu Rusydy