Menelusuri Paleo-Seismic (Gempa Bumi Purba) di Sumatra

Menelusuri jejak gempa bumi purba atau paleo-seismik merupakan salah satu upaya manusia memprediksi gempa bumi.  Walaupun berbagai upaya sudah dilakukan, sampai detik tulisan ini saya terbitkan belum ada satupun ahli gempa bumi yang mampu memprediksi gempa bumi. Namun usaha manusia kearah situ terus dilakukan. Gempa-gempa bumi besar yang terjadi di masa lalu besar dugaan akan terulang lagi di masa yang akan datang. Atas dasar pijakan ini, beberapa ahli gempa mencoba menelusuri kejadian-kejadian gempa bumi masa lalu yang belum tercatat dalam sejarah. Para ahli percaya bahwa ketika terjadi gempa bumi besar, biasanya akan diikuti dengan deformasi atau perubahan permukaan bumi sekitar kawasan gempa bumi. Untuk zaman sekarang perubahan permukaan ini bisa diamati dengan GPS Geodetik L1 & L2, namun bagaimana dengan zaman baheulak dulu???? kan dulu belum ada GPS. Berikut ini metode yang digunakan oleh seismologi untuk mempelajari gempa bumi pada masa lalu.

Terumbu Karang Microatoll

Microatoll adalah kelompok terumbu karang yang pertumbuhannya secara vertikal sangat bergantung pada tinggi rendahnya pasang surut rata-rata air laut. Dengan mempelajari marfologi permukaan microatoll maka bisa ditentukan kapan permukaan air laut naik dan kapan permukaan air laut surut. Naik dan turunnya permukaan laut mengindikasi ada perubahan permukaan (deformasi)  secara vertikal karena gempa bumi. Deformasi ini terekam pada bentuk marfologi terumbu karang microatoll, sehingga penelitian ini lebih menjurus kepada penelitian rekaman biologi daripada geologi (Sieh, 2007). Pada Gambar 1, di bawah ini terlihat permukan tanah naik di kawasan pinggir pantai kepulauan Simeulue setelah gempa bumi Desember 2004.

Permukaan tanah yang naik di kepulauan Simeulue

Gambar 1. Permukaan yang naik setelah gempa Desember 2004 (Sieh K, 2007)

Microatoll yang berfungsi sebagai paleo-seismic (paleo-seismik atau gempa bumi purba) dan paleo-geodetic sekarang menjadi objek penelitian para pakar ilmu Gempa bumi untuk menerusuri jejak gempa masa lalu dari deformasi permukaan tanah. Microatoll yang akan tumbuh vertikal sampai batas permukaan air laut rata-rata  dan  kadang malah permukaan air laut terendah, selebihnya pertumbuhan microatoll bersifat horizontal atau menyamping. Gambar 2 berikut ini menunjukkan karang microatoll yang mengalami kenaikan permukaan tanah sehingga pertumbuhan lingkar luar lebih rendah dari lingkat tengah.

Micro atoll

Gambar 2. Karang mikroatoll yang mengalami perubahan karena naiknya permukaan tanah (Sieh K, 2007)

Untuk mengetahui kapan terjadinya gempa, proses selanjutnya yang harus dilakukan adalah penanggalan (dating). Dari proses dating terhadap microatoll tersebut maka akan diketahui kapan terjadinya naik dan turun permukaan tanah karena gempa, ini berarti kita akan mengetahui kapan terjadinya gempa bumi pada masa lalu.

Gempa Bumi Purba di Sumatra

Setelah dilakukan analisis terumbu karang microatoll dan berdasarkan data-data sejarah gempa bumi, ternyata sudah terjadi beberapa gempa bumi pada masa lalu. Berapa dari gempa bumi tersebut malah memiliki rekahan (rupture) yang sama dengan gempa-gempa sebelumnya. Panjangnya rekahan (rupture) dapat ditentukan dari naik-turunnya permukaan tanah (analisis terumbu karang microatoll) di sepanjang zona gempa. Seperti terlihat pada gambar 3 di bawah ini. Gempa Padang 1797 rekahannya overlapping dengan gempa Bengkulu 1833, demikian juga dengan gempa Nias Simeulue 2005 yang rekahannya berada pada posisi hampir sama dengan gempa Simeulue 1861 dan 1907.

gempa bumi purba

Gambar 3. Beberapa gempa besar yang pernah menimpa Sumatra (Sieh K, 2007)

Gempa bumi Aceh-Andaman Desember 2004, berbeda dengan gempa2 lain. Gempa Aceh-Andaman berdiri sendiri, ini bermakna bahwa telah lama terjadi seismic gap di sekitar pantai barat Aceh. Seismic Gap adalah kawasan2 yang telah lama tidak terjadi gempa dan energi yang terkumpul sekian lama tidak terlepaskan.

Seismic Gap menjadi kawasan yang ditakutkan karena apabila di zona subduksi aktif lama tidak terjadi gempa, maka  ke depan akan ada gempa besar di kawasan tersebut. Semoga ke depan tidak ada lagi kawasan2 seismic gap ini, kita berdoa semoga kita terus mendapatkan gempa-gempa kecil agar energi yang terkumpul tersebut terlepas. Kalau boleh saya asumsikan, “lebih baik gempa-gempa kecil yang sering terjadi (cicil) daripada tidak pernah terjadi gempa bumi kemudian ada gempa bumi besar seperti Desember 2004 (kontan)”.

Filosofi memahami gempa bumi, sama seperti memahami tingkat stress-nya seseorang. Apabila orang terus ditekan maka orang tersebut akan stress.  Orang yang sering melampiaskan stress-nya dengan sering marah namun marahnya kecil kemungkinan tidak akan marah besar, tapi apabila orang stress tidak pernah marah, maka sekali marah tentang akan besar.

Dalam ilmu tektonik untuk memahami gempa bumi, gempa bumi terjadi akibat adanya dorongan sebuah lempeng terhadap lempeng yang lain. Stress atau tekanan yang diberikan akan menghasilkan regangan (strain) atau  deformasi pada kawasan pertemuan tersebut. Tekanan yang ada di zona pertemuan lempeng tersebut harus dilepaskan pelan-pelan. Betuk pelepasan energi tersebut ya dalam bentuk gempa-gempa kecil tapi. Namun apabila tidak pernah gempa, maka energi stress tersebut akan lepas sekali dan besar.

Semoga artikle Menelusuri gempa bumi purba di Sumatra mampu menambah pemahaman pembaca tentang bencana alam.

Tags:
author

Author: 

Saya Ibnu Rusydy, Pecinta, pelajar dan pengajar Ilmu Kebumian yang lahir di Aceh-Indonesia. Saat ini saya tergabung dalam Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) Komisaris Wilayah Aceh (id: IBN-RUSYD-150) dan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Pengurus Daerah Aceh (Npa: 4658). Apabila menyukai artikel yang saya tulis, silahkan sebarkan ke kawan-kawan anda.

Leave a Reply