Melanjutkan pembahasan kota-kota yang sedang tenggelam I dan II. Tenyata selain Jakarta, Bangkok dan Taipe, masih banyak kota-kota lain di dunia ini yang berlahan mulai turun/ambles atau subsidence. Terpengaruh atau tidaknya penurunan ini terhadap kebijakan pemerintahanya, sangat bergantung pada letak kota tersebut. Misalnya saja posisi Jakarta dan Bangkok yang berada di pinggir laut, tentu membuat masyarakat dan pemerintah kota khawatir terhadap keberlangsungan kota tersebut di masa depan. Namun kebijakan dan kekhawatiran tersebut akan berbeda dengan kota Taipe yang juga ikut turun namun letaknya tidak begitu dekat dengan laut. Selain ketiga kota tersebut, kira-kira kota mana saja yang juga sedang ambles dan bagaimana pemerintah kota meraka menanganinya? Mari kita simak pembahasan kota-kota yang ambles di Negara Republik Rakyat Cina (RRC).
Shanghai Yang berhenti Turun
Shanghai merupakan kota terbesar negara RRC yang terletak di tepi delta Changjiang. Perkembangannya yang pesat selama beberapa tahun terakhir menjadi kota tersebut sebagai pusat ekonomi, finansial, dan perdagangan bagi RRC. Saat ini terjadi amblesan tanah sedalam 2-3 meter di pusat kota Shanghai karena pengambilan air tanah secara besar-besaran sejak tahun 1921. Litologi lapisan tanah di bawah kota Shanghai dari atas ke bawah terdiri dari lapisan lempung (clay), Lanau (silt), lempung berlanau, kemudian diselingi antara aquifer dan aquatar (J.-C.Chai et al, 2005). Deformasi aquifer akibat pengambilan air tanah secara besar-besar dan konsolidasi aquatar yang masih muda [pleistosen (kurang dari 2,5 juta tahun) dan holosen (10.000 tahun tahun)] dalam kala geologi menjadi penyebab amblesan tanah di kota Shanghai.
Pada gambar di atas bisa dilihat nilai penurunan kota Shanghai pada masing-masing titik pengamatan. Dari tahun 1920 – 1960 terlihat penurunan atau subsidence yang sangat drastis. Namun dari 1960 sampai dengan 2000 tidak ada penurunan yang berarti. Berkurangnya tingkat penurunan dikarenakan pada tahun 1963, pemerintah kota Shanghai membatasi penggunaan air bawah tanah (sumur bor) dan membuat beberapa sumur serapan untuk menganti air di lapisan aquifer. Pada tahun 1995, pemerintah kembali memperketat kebijakan dengan hanya membolehkan pengambilan air sumur bor kurang dari 10 juta kubik/tahun dan setiap pembuatan sumur bor yang dalam wajib mendapatkan izin dari pemerintah setempat (P. D.-Afari dan X.L. Ding, 2005). Sebuah pembelajaran yang sangat berharga dari pemerintah kota Shanghai, mudah-mudahan pemerintah kota kita bisa berbuat demikian untuk mengurangi nampak amblesan tanah.
Kota Changzhou Juga Turun / Subsidence
Hampir sama dengan Shanghai, pengambilan air tanah secara besar-besaran dan konsolidasi lapisan tanah menjadi penyebab utama amblesan atau subsidence tanah di kota Changzhou. Laju tertinggi penurunan tanah di kota Changzhou terjadi pada tahun 1980-an sebesar 14,7 cm/tahun. Pada tahun 1983, pemerintah kota Changzhou membuat borehole extensometer untuk memonitor laju penurunan/amblesan tanah. Lapisan sedimen di bawah kota Changzhou berada dalam umur period kuarter (kurang 2,5 Juta tahun atau pleistosen dan holosen) dan tergolong muda menurut umur geologi. Lapisan sedimen tersebut terdiri dari 9 lapisan yang terus terpadatkan (G.Y.Wang et al, 2008).
Pada tahun 1995, pemerintah kota Changzhou membuat kebijakan pelarangan penggunaan air bawah tanah (sumur bor). Gejalan penurunan/amblesan tanah mulai berangsur-angsur mengecil sampai akhirnya pada tahun 2002 cuma 10 mm/tahun.
Kebijakan yang diperbuat oleh pemerintah kota Shanghai dan Changzhou wajib kita contoh. kebijakan pemerintah dalam upaya mengurangi dampak amblesan tanah sangat efektif dan membuahkan hasil. Pemerintah kota di Indonesia yang terindikasi terjadi amblesan tanah sudah sepatutnya mengikuti apa yang telah mereka perbuat. Semoga kedua kota tersebut menjadi contoh bagi kita dan membuat kita belajar banyak serta tahu apa yang mesti dilakukan ke depan.
Kota-Kota Yang Sedang Tenggelam (IV) | MELEK BENCANA11 years ago
Kota-Kota Yang Sedang Tenggelam (II) - MELEK BENCANA11 years ago